Tugas Softskill “Aspek Hukum Dalam Ekonomi”
Nama : R. Farda Tantia
NPM : 25211690
Kelas : 2EB10
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi #
Dosen : Desi Pujiati
Tema : Hukum Perjanjian
Tujuan : Menjelaskan tentang Hukum Perjanjian
Judul Karangan : Hukum Perjanjian
Kerangka Karangan :
Pengantar :
1. Sepintas Hukum Perjanjian
A. Istilah dan Pengertian Hukum Perjanjian
B. Asas Hukum Perjanjian
2. Standar Kontrak
Isi Karangan :
1. Macam-macam Perjanjian
2. Syarat Sahnya Perjanjian dan Tahapan Penyusunan Perjanjian
A. Syarat Sahnya Perjanjian
B. Tahapan Penyusunan Perjanjian
3. Saat Lahirnya Perjanjian
4. Berakhirnya Perjanjian
A. Dasar Hukum Berakhirnya Perjanjian
B. Berakhir karena Undang- Undang dan Pejanjian
Penutup :
1. Kesimpulan
2. Daftar Pustaka
PENGANTAR :
1) SEPINTAS HUKUM PERJANJIAN
A. Istilah dan Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam praktik, selama ini kita belum memiliki rumusan baku tentang perjanjian. Berbagai buku atau ketentuan undang-undang menggunakan istilah perjanjian dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti kontrak, perikatan, pertalian, atau persetujuan. Sebagai pembanding, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3, tahun 2003) kita menjumpai rumusan sebagai beikut.
a. Perjanjian : 1. Persetujuan (tertulis dan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakatakan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu; 2. Syarat; 3. Tenggang waktu; 4. Persetujuan resmi antara dua Negara atau lebih dibidang keamanan, perdagangan, dan sebagainya; 5. Persetujuan antara dua orang atau lebih dalam bentuk tertulis yang dibubuhi materai, yang meliputi hak dan kewajiban timbal balik. Masing-masing pihak menerima tembusan perjanjian itu sebagai tanda bukti keikutsertaannya dalam perjanjian itu.
b. Kontrak : 1. Perjanjian (tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya; 2. Persetujuan yang bersanksi hukum antara dua puhak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.
c. Perikatan : 1. Pertalian; Perhubungan; 2. Perserikatan; Persekutuan.
Dalam Literatur hukum Indonesia, perumusan tentang materi perjanjian tergantung pada kehendak yang dikaitkan dengan sumber hukum yang diikutinya. Namun, semuanya kembali ke sumber awal hukum perikatan yang terdapat dalam Buku III KItab Undang- Undang Hukum Perdata yang resminya diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio.
Dari rumusna perjanjian yang tedapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keseluruhan isi rumusan-rumusan tersebut saling melengkapi dan mendekati isi rumusan yang terdapat dalam KUH Perdata seperti berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” (pasal 1313).
Rumusan hukum perjanjian terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai pula dengan system terbuka KUH Perdata seperti tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Ketentuan Pasal 1338 alenia (1) KUH Perdata merupakan pasal yang paling popular karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupunada juga yang menyandarkannya pada pasal 1320 KUH Perdata.
Hukum perjanjian atau perikatan dapat ditelusuri di 18 Bab atau 631 pasal dalam buku III KUH Perdata, mulai Pasal 1233 sampai Pasal 1864, dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagai perbaikan atau yang melengkapi ketentuan yang dianggap sudah ketinggalan zaman.
Didalam KUH Perdata, hal yang mengatur perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, biaya tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian merupakan perjanjian yang bersifat khusus. Perjanjian ini pada berbagai kepustakaan hukum disebut dengan perjanjian nominaat (bernama). Diluar KUH Perdata, dikenal juga perjanjian laimmya, seperti kontrak proction sharing, kontrak joint ventura, kontrak karya, leasing, beli sewa, dan franchise. Perjanjian jenis ini diatur dengan undang-undang tersendiri dan biasanya disebut perjanjian innominaat, yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam era globalisasi saat ini.
B. Asas Hukum Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah asas kebebasan mengadakan perjanjian (konttak), asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.
a. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian
Kebebasan mengadakan perjanjian merupakan salah satu asas dalam hukum umum yang berlaku didunia. Asas ini member kebebasan kepada setiap warga Negara untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat (1) Perdata menyebutkan, “ Semua perjanjian uyang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas Kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk; 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis; 5. Memerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat opsional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuatan yang sama seperti undang- undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di dalam sebuah perjanjian dengan memperhatikan batasan-batasanhukum yang berlaku.
b. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas konsensualisme, berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Asas konsensualisme dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal ini, ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda atau diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum (janji wajib ditepati) terangkum dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
d. Asas Itikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Yang menyatakan bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.
e. Asas Kepribadian
Asas Kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam pasal 1315 dirumuskan, “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri.” Pasal 1315 ini berkaitan dengan rumusan Pasak 1340 KUH Perdata, “ Perjanjian-perjanjian hanya berlaku di antara pihak-pihak yang membuatnya.”
2) STANDAR KONTRAK
Didalam kepustakaan hukum Inggris untuk istilah perjanjian baku digunakan istilah standarized agreement atau standarized contract. Sedangkan kepustakaan Belanda menggunakan istilah standaarized voorwaarden, standard contract. Mariam Badrulzaman menggunakan istilah perjanjian baku, baku berarti ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukurannya, standarnya, sehingga , memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan umum.
Sutan Remy Sjahdeni merumuskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula – klausulanya sudah di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Menurut Hondius Dalam Purwahid Patrik menyatakan bahwa syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang di muat dalam beberapa perjanjian yang masih akan di buat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya. Syarat baku yang disebutkan umumnya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada asasnya isi perjanjian yang di bakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi
Suatu kontrak harus berisi : 1. Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak; 2. Subjek dan jangka waktu kontrak; 3. Lingkup Kontrak; 4. Dasar-dasar pelaksanaan kontrak; 5. Kewajiban dan tanggung jawab; 6. Pembatalan kontrak.
ISI KARANGAN :
1) MACAM-MACAM PERJANJIAN
· Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban.
· Perjanjian sepihak dan perjanjian timbale balik
· Perjanjian konsensuil, formal dan riil
· Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
2) SYARAT SAHNYA PERJANJIAN DAN TAHAPAN PENYUSUNAN PERJANJIAN
A. Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “ Suatu perjanjian adalah satu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Mengenai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Mengenai sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
· Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Adapun yang dimaksud dengan Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak abtara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
· Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak merupakan penjabaran cakap hukum, yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum.
· Adanya Obyek Perjanjian
Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan untuk sahnya perjanjian memerlukan syarat, “Suatu hal tertentu”. Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus adanya objek perjanjian yang jelas. Objek perjanjian ini dapat dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1234 KUH Perdata yang berbunyi, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuta sesuatu”.
· Adanya Kausa yang Halal
Pasal 1320 KUH Perdata sendiri juga tidak memberi penjelasan apa yang dimaksud dengan kausa yang halal. Di dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan, “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada satu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab lain yang tidak terlarang selain dari yang diyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
B. Tahapan Terjadinya Perjanjian
Tahapan Penyusunan perjanjian biasanya dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pra-penyusunan perjanjian, tahap penyusunan perjanjian, dan tahap pasca penandatanganan perjanjian.
3) SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi ; 1. Kesempatan penarikan kembali penawaran; 2. Penentuan resiko; 3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa; 4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
4) BERAKHIRNYA PERJANJIAN
A. Dasar Hukum Berakhirnya Perjanjian
Sampai saat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan berakhirnya perjanjian (perikatan) masih merujuk pada isi Pasal 1381 KUH Perdata, yang dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, “Perikatan-perikatan dapat dihapus; 1. Karena pembayaran; 2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Karena pembaruan utang; 4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Karena percampuran utang; 6. Karena pembebasan utangnya; 7. Karena musnahnya barang yang terutang; 8. Karena kebatalan dan pembatalan; 9. Karena berlakunya suatu syarat batal; 10. Karena lewatnya waktu.
B. Berakhirnya Karena Undang-Undang dan Perjanjian
Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan apakah karena perjanjian atau undand-undang. Namun, secara tersirat KUH Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara insklusif. Dari praktik, dapat diamati perjanjian (perikatan) yang berakhir karena Undang- Undang adalah ; 1. Konsinyasi; 2. Musnahnya barang yang terutang; 3. Kadaluarsa. Adapun perjanjian (perikatan) yang berakhir karena perjanjian adalah ; 1. Pembayaran; 2. Novasi (pembaruan utang); 3. Kompensasi; 4. Percampuran utang (konfusio); 5. Pembebasan utang; 6. Kebatalan atau pembatalan; dan 7. Berlaku syarat batal.
Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian dengan segala konsekuensi hukumnya.
PENUTUP :
1) KESIMPULAN
Jadi pada intinya tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian yang disepakati oleh masing- masing pihak. Sehingga perjanjian merupakan konsekuensi logis daripada perjanjian.
2) DAFTAR PUSTAKA
Komandoko, Gamal. 2008. Kumpulan Contoh Surat Kontrak dan Perjanjian Resmi, Cetakan Kelima. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Salim, H. S.. 2008. Hukum Kontrak,Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan kelima. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Subekti dan Tjitrosidibio. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ketiga puluh Sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Wicaksono, Frans Satriyo. 2008. Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak. Jakarta: Visimedia.